Berjalan, Lalui dan Kembali
Setiap
berhasil menggapai puncak gunung, aku merasa telah berhasil menjajaki suatu
impian dan atau sebuah ambisi. Dahulu pikirku gunung adalah sebuah tempat yang
tidak baik untuk dijamah, tempat yang didalamnya terdapat banyak sumber bahaya.
Stigma itu sirna ketika aku mencoba, iya mencoba, mencoba dengan keyakinan dan
kenekatan atau bahasa orang-orang belajar adalah “otodidak”. Belum satupun ilmu
survival di alam yang telah aku pelajari sebelumnya, semuanya hanya didorong
oleh rasa penasaran dan sebuah animo masyarakat yang menjadikan gunung sebagai
tempat pelarian dari kejenuhan akan repetitifnya rutinitas harian.
Gunung
sumbing diperbatasan Wonosobo-Temanggung Jawa Tengah, 4 tahun silam (2015)
adalah gunung ke 6 yang aku daki. Waktu itu bersama teman-teman sejawat saat
kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat. Di tahun 2017 aku mencoba mendaki lagi
gunung ini bersama teman seperantauan di Wonosobo, kebetulan awal tahun 2017
aku diterima bekerja oleh Dinas Kesehatan disana.
Tahun
berbeda, dengan teman yang berbeda, dan melewati jalur yang berbeda juga.
Itulah simbol sebuah petualangan, selalu haus akan perbedaan disetiap
perjalanan. Satu lagi ihwal yang membuatku lagi dan lagi berkeinginan untuk
mendaki adalah sebuah ketenangan. Di gunung aku mampu berkontemplasi, merenung,
mengkoreksi diriku, dan lari dari kesepian.
Ku
ceritakan sedikit yang bisa aku ingat mengenai perjalananku di gunung sumbing untuk
kedua kalinya. Karena hanya dengan menulis kita bisa merawat ingatan sebelum
semuanya lenyap oleh waktu.
Entah
hari apa itu, yang ku ingat hanya tanggal saja dan itu bersumber dari jejak digital yang kami ambil dipuncak,
tertera tanggal 24 April 2017. Jika dikurangi waktu perjalanan dari basecamp,
kami mulai mendaki pada tanggal 23 April 2017 silam. Saat itu rombongan
pendakian kalau tidak salah berjumlah 5 orang. Aku, Gilang, Ridwan, Eko, dan
mas Mamek.
Kali kedua aku ke gunung sumbing menggunakan jalur pendakian via Desa Bowongso. Desa Bowongso adalah Desa tertinggi yang masuk dalam area wilayah kerjaku di Puskesmas. Jadi aku tidak terlalu awam dengan kondisi lingkungannya. Bowongso juga desa penghasil kopi, di dekat basecamp pendakian ada rumah yang disulap seperti warung kopi oleh penggagas kopi bowongso disana “mas eed” namanya. Kopi Bowongso rasanya khas sekali kalo di Wonosobo, ada rasa kecut didalamnya ketika disajikan dalam varian tubruk tanpa gula. Berkunjunglah ke Bowongso jikalau kalian penasaran dengan kopi unik ini.
Setelah
perlengkapan pendakian tercukupi, kami berangkat dari Puskesmas pukul 5 sore.
Mas mamek adalah driver ambulan di Puskesmas, waktu mudanya dia itu atlet sepak
bola dan sering berlatih fisik dengan mendaki gunung, kebetulan sumbing via Bowongso
pernah dia daki, jadi kami memilih untuk mengajak mas mamek sebagai penunjuk
jalan hhe. Ceritanya dia lagi kangen suasana gunung juga, maka ajakanku dan
gilang untuk mendaki sumbing tidak dia tolak sama sekali.
Selepas
solad magrib kami berlima mendaftar simaksi dan memulai perjalanan. Sengaja
kami sewa mobil bak terbuka untuk mengantar sampai depan jalur pendakian
karena jarak basecamp ke pintu masuk pendakian sekitar 4-5 km dengan kondisi
jalan makadam menanjak. Selama perjalananpun kami harus duduk dibak mobil
paling belakang beserta ban-ban yang disiapkan sebagai pemberat. Wonosobo begitu
indah terlihat ketika perjalanan kami menuju pintu masuk pendakian, cuaca cerah
dihiasi bintang dilangit dan lampu-lampu rumah beserta jalan berada dibawah
sana, anak indie bilangnya sih “syahdu”.
Sampai di pintu masuk pendakian,
kami berdoa bersama dan memulai untuk berjalan. Gelap terasa, pencahayaan hanya
dari sorotan sinar cahaya headlamp dan senter yang kami bawa. Setengah jam kami berjalan, sampailah
kami di gardu pandang. Sebuah saung yang diposisikan menghadap ke area luas
untuk melihat aglomerasi pemukiman, pemandangan, dan hiruk pikuk yang
memadatinya. Kami beristirahat disana dan menikmati apa yang disebut sunyinya
malam diantara bintang-bintang :p.
Kami mulai lagi berjalan melewati
batas ladang warga dengan hutan gunung Sumbing. Jalur Bowongso ini vegetasi
hutannya masih rindang. Ada 3 percabangan jalan di awal pendakian, pilihlah
jalur yang paling kiri. Waktu tempuh
gardu pandang menuju Pos 1 (Taman Asmara) sekitar 30 menit. Istirahat
seperlunya, kamipun bergegas berjalan menuju Pos 2 (Bogel), waktu tempuhnya kurang lebih 3 jam. Akan banyak kita
temui semak belukar dan pohon-pohon pendek di perjalanan menuju Pos 2. Kami sampai
di Pos 2 pukul 11 malam, dan memutuskan mendirikan tenda untuk beristirahat.
Tengah malam Ridwan temanku, seperti
mengalami gejala Hypotermi. Kamipun segera memposisikan dia untuk tidur di
tengah-tengah kami supaya badanya terasa hangat, segala jaket kami balutkan ke
tubuhnya. Alhasil tubuhnya kembali normal dan bisa tidur dengan nyenyak.
Subuh rencana kami sudah bangun dan
beranjak naik ke Pos 3. Namun rencana tidak sesuai ekspektasi, kami baru
bangun pukul 7 pagi. Matahari sudah mulai meninggi. Kami sarapan seadanya,
kemudian memulai naik menuju Pos 3. Waktu
tempuh Pos 2 ke Pos 3 sekitar 1,5 jam. Mas mamek berangkat duluan, kami
ditinggal padahal mas mamek kami fungsikan sebagai penunjuk jalan. Usut punya
usut mas mamek ingin segera sampai ke puncak kemudian langsung turun ke
basecamp, karena dia sudah kangen dengan keluarga terutama anak-anaknya. Ah disitu
aku berpikir “jika berkeluarga nanti apakah masih bisa untuk berpetualang seperti
ini?”.
Aku
pernah nonton jurnal fiersa besari di kanal youtubnya ketika dia dan teman
sejawatnya mendaki gunung sindoro. Dia berjumpa dengan bapak-bapak umurnya
sekitar 40an tahun yang masih aktif mendaki. Beliau berpesan agar penghobi alam
bebas untuk menikahi perempuan yang memiliki hobi yang sama supaya ketika kita
berhasrat untuk mendaki kembali, pasanganmu tidak akan rewel, karena sudah
paham bau tanah basah alam bebas adalah sebuah kerinduan.
Jalur
pendakian sumbing via Bowongso ini tidak ada sumber airnya, tidak seperti jalur
via Garung atau Kaliangkrik, jadi bawalah cadangan air minum yang banyak yhaa. Pos 3 menuju Puncak waktu tempuhnya 2 jam.
Betapa lebih singkatnya jalur pendakian via Bowongso ini yang jika ditotal
memakan waktu hanya 7,5 jam sedangkan jalur yang lain bisa sampai 9 jam. Puncak
yang kita dapati nanti adalah puncak buntu, akan tetapi kita bisa turun menuju
kawah maupun naik ke puncak tertinggi yaitu puncak garuda, menyisiri tebing dan
turun dengan teknik rapling dengan seutas tali yang telah disediakan pengelola.
Hati-hati ketika berjalan di puncak gunung sumbing karena konturnya bebatuan,
kanan dan kirinya sudah jurang yang sangat dalam.
Puas
mengabadikan momen di puncak dan kawah, sekitar pukul 1 siang kami bersiap
untuk turun. Mas mamek, gilang dan eko sudah turun duluan, aku dan ridwan
berada jauh dibelakang mereka. Memang alam susah ditebak, tiba-tiba turun kabut
hitam pekat yang membuat jarak pandang kami tidak lebih dari 1 meter. Alhasil
kami berdua tidak melihat jalur pendakian, kami berusaha untuk tetap tenang dan
memanggil-manggil nama teman-teman rombongan, nihil yang kami dapat. Diam dan
berdoa sembari menunggu kabut pekat disertai gerimis ini hilang padahal kami
tidak bawa jas hujan sama sekali, “Ah bodoh” pikirku. Setengah jam lebih kami
menunggu dan kabut mulai hilang, jalur mulai kelihatan. Kamipun turun perlahan
dan berhasil sampai tenda, tak lama berselang hujan deras turun disertai petir
yang menyambar. Semua gawai kita matikan untuk meminimalisir risiko tersambar.
Bau
tanah basah sehabis hujan susah dilupakan, yang membuat banyak orang untuk lagi
dan lagi bertualangan ke gunung. Selepas hujan sedikit reda kami berkemas, jam 4 sore kami baru turun dari Pos 2 menuju pintu masuk pendakian.
Pukul 9 malam kami sampai, lalu menelfon mobil yang akan menjemput kami. Sinyal
yang paling baik di sekitar pintu masuk pendakian adalah dari provider
T**komsel. Ah sungguh rasa penasaran mendaki sumbing via jalur Bowongso
terbayarkan sudah, lelah pendakian terlupakan ketika kami bercerita dan sampai menimbulkan
gelak tawa.
Sampai
basecamp kami dapat berita bahwa ada beberapa pendaki gunung Prau yang
tersampar petir dan meninggal dunia karena berteduh di bawah tower dan gawai
mereka dalam kondisi dinyalakan. “Ah Tuhan terimakasih masih diberi kesempatan
untuk bisa kembali dengan selamat”, karena di Pos 2 kemarin kami mengalami hal
yang sama, saat itu turun hujan deras disertai petir yang menyambar-nyambar.
Komentar
Posting Komentar